Sabtu (10/09/2025)
Om Swastyastu Rahajeng Rahina Tumpek Wariga. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu memberikan anugerah dan perlindungan-Nya kepada kita semua.
Hari Raya Tumpek Wariga, yang juga dikenal dengan berbagai nama seperti Tumpek Unduh, Tumpek Pengatag, Tumpek Pengarah, atau Tumpek Bubuh, adalah salah satu hari suci penting bagi umat Hindu di Bali. Dirayakan setiap 210 hari sekali, tepatnya pada hari Saniscara Kliwon Wuku Wariga, perayaan ini memiliki makna filosofis yang sangat dalam, terutama sebagai wujud rasa syukur dan upaya harmonisasi antara manusia dengan alam, khususnya tumbuh-tumbuhan.
Makna Filosofis dan Nama-Nama Lain:
Tumpek Wariga sering disebut sebagai "Hari Lingkungan Hidup"-nya umat Hindu di Bali karena esensi perayaannya yang fokus pada pemujaan dan penghormatan kepada tumbuh-tumbuhan. Manifestasi Tuhan (Hyang Widhi Wasa) yang dipuja pada hari ini adalah Dewa Sangkara, yang diyakini sebagai Dewa Tumbuh-tumbuhan yang menganugerahkan kesuburan dan kemakmuran alam semesta.
Nama-nama lain dari hari raya ini merefleksikan tujuannya:
-
Tumpek Unduh: Kata "unduh" (memetik/panen) menyiratkan harapan agar tanaman yang diupacarai dapat menghasilkan buah yang melimpah (diunduh).
-
Tumpek Pengatag/Pengarah: "Pengatag" (memanggil/menyapa) dan "Pengarah" (memberi arahan) merujuk pada ritual berkomunikasi atau "mengarahkan" tumbuh-tumbuhan agar berbuah lebat.
-
Tumpek Bubuh: Nama ini diambil dari sesajen utama yang dihaturkan, yaitu Bubuh (bubur) dari tepung beras yang ditempelkan pada batang pohon. Bubur ini melambangkan kesuburan dan harapan akan hasil panen yang baik.
Ritual dan Harapan Menjelang Galungan:
Perayaan Tumpek Wariga juga memiliki kaitan erat dengan Hari Raya Galungan yang akan tiba 25 hari setelahnya. Melalui persembahan dan ritual ini, umat Hindu memohon agar pohon-pohon, khususnya yang menghasilkan buah dan bunga untuk sarana upacara, dapat berbuah banyak dan matang tepat waktu.
Salah satu ritual khas adalah pengucapan sesapa (doa/mantra) di depan pohon, yang biasanya berbunyi:
"Kaki-kaki, Nini-nini, Sarwa Tumuwuh. Niki tiyang ngaturin bubuh mangda ledang tumbuh subur, malih selae lemeng Galungan. Mabuah apang nged, nged, nged..."
(Kakek, Nenek, wahai segala tumbuh-tumbuhan. Ini hamba persembahkan bubur agar berkenan tumbuh subur, lagi dua puluh lima hari Galungan. Berbuah agar lebat, lebat, lebat...)
Saat mengucapkan kata "nged" (lebat), batang pohon biasanya diketuk sebanyak tiga kali atau ditoreh sedikit, kemudian ditempelkan bubur, sebagai simbol komunikasi dan harapan agar pohon memberikan hasil yang maksimal.
Implementasi Tri Hita Karana:
Secara filosofis yang lebih luas, Tumpek Wariga merupakan penjabaran dari konsep Tri Hita Karana, yaitu tiga penyebab terciptanya keharmonisan dan kesejahteraan. Dalam konteks Tumpek Wariga, perayaan ini menekankan pada harmonisasi antara:
-
Parahyangan (Hubungan dengan Tuhan): Wujud syukur kepada Dewa Sangkara atas anugerah alam.
-
Palemahan (Hubungan dengan Alam/Lingkungan): Menjaga, merawat, dan menghormati tumbuh-tumbuhan sebagai sumber kehidupan.
-
Pawongan (Hubungan dengan Sesama): Kesadaran untuk melestarikan lingkungan demi kesejahteraan bersama.
Dengan merayakan Tumpek Wariga, umat Hindu diingatkan akan jasa-jasa tumbuh-tumbuhan yang menyediakan makanan dan menjaga keseimbangan alam. Hari raya ini menjadi momentum penting untuk menanam, memelihara, dan menjaga lingkungan, sekaligus sebagai persiapan spiritual dan material menjelang perayaan Hari Raya Galungan.